Setara Institute Pembohong Besar

Jakarta (voa-islam) – Lagi-lagi, LSM komparador Setara Institute mengompori umat Islam dengan membuat survei ‘jadi-jadian’ yang terkesan rekayasa.Di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Kamis (8 September 2011) siang, Hendardi, Bonar Tigor Naipospos, dan Ismail Hasani dari Setara Institute menggelar Konferensi Pers untuk memaparkan hasil survei yang berjudul “Keberagamaan Publik dan Sikapnya terhadap Ahmadiyah.

Dalam prolognya, Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, sepanjang lima tahun terakhir, Jemaat Ahmadiyah menjadi salah satu elemen warga negara yang paling rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Hampir seluruh kekerasan yang dialami oleh Ahmadiyah tidak diproses secara hukum dan pelakunya bebas dari tuntutan hukum.
Dalam surveinya, Setara Institute menggunakan survei opini public untuk mengukur sikap keberagamaan warga dan sikapnya terhadap Ahmadiyah. Pertanyaan kunci yang diajukan dalam survey ini adalah: bagaimana publik memandang Ahmadiyah? Apakah kebijakan tentang pembatasan Ahmadiyah mencerminkan kehendak publik? Apa yang seharusnya dilakukan oleh negara untuk menangani soal Ahmadiyah?

Dikatakan Hendardi, survei ini bertujuan untuk mengetahui pandangan publik dan menghimpun langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh negara dalam menangani kasus Ahmadiyah saat ini dan di masa mendatang.

Secara garis besar, survei ini dibagi ke dalam tiga bagian: (1) Sikap Keberagamaan Masyarakat; (2) Sikap Masyarakat terhadap Masalah Keberagamaan Aktual; dan (3) Pandangan Masyarakat terhadap Ahmadiyah
Adapun survei opini public dilakukan di 47 kabupaten/kota di 10 provinsi yang dipilih dengan teknik penentuan wilayah secara acak sistematis dan bertingkat. Sementara teknik penentuan responden survei ini menggunakan Kish Grid Methode, suatu tekni tertentu yang digunakan untuk dapat menentukan secara acak/random seorang responden terpilih dalam sebuah keluarga.

Unit sampling adalah 25 responden per desa/kelurahan dengan jumlah responden sebanyak 3.000 responden dengan alat pengumpulan data wawancara tatap muka. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada tanggal 10-25 Juli di 10 provinsi, meliputi: Jakarta, Jawa Barat, DIY, Jawa Timur, NTB, Sulsel, Kaltim, Sulteng, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat.

Kejanggalan terjadi, ketika wartawan menanyakan, kenapa Provinsi Banten tidak menjadi objek survei Setara Institute? Bukankah wilayah itu, seperti dikatakan Setara sebagai wilayah yang rentan dengan kekerasan?
Setara Institut pun berdalih. Jawabnya, “Kami terbentur birokrasi. Dimana  kami kesulitan untuk mendapatkan izin untuk melakukan penelitian,” kata Peneliti Setara Institute Ismail Hasani beralasan.

Masyarakat Tolak Ahmadiyah

Jika melihat profil responden yang menjadi objek survei Setara Institute, kebanyakan adalah masyarakat yang berpendidikan SD (38.3%), dari kalangan ibu rumah tangga (26.3%), berpenghasilan kotor kurang dari Rp. 500.000 (42.6%).  Dengan kondisi profil responden seperti itu, pantas jika banyak responden yang tidak menjawab dan menyatakan tidak tahu.

Yang paling ironis dari survei ini (Sikap Terhadap Ahmadiyah) adalah masyarakat kebanyakan tidak mengetahui substansi ajaran Ahmadiyah (60.9%). Hanya sebagian kecil saja dari anggota masyarakat (15.3%) yang mengaku paham atau mengetahui ajaran Ahmadiyah.  

Menariknya lagi, masyarakat mengakui, jemaat Ahmadiyah bukan saudara se-iman (52.6%). Hanya sebagian kecil saja (13.7%) yang menganggap para penganut ajaran Ahmadiyah sebagai saudara se-iman.
Ketika ditanya sumber pengetahuan masyarakat, bahwa Ahmadiyah dianggap menyimpang, kebanyakan masyarakat menjawab tidak tahu atau tidak menjawab (33.7%). Terkait dengan informasi ini, media massa dipandang sebagai sumber yang utama (25.4%), kemudian diikuti oleh bahan bacaan (22%), forum pengajian (16.8%) dfan ceramah di masjid (2.2%). Ternyata ceramah di masjid maupun forum pengajian bukan merupakan penyebab dominan bagi munculnya persepsi bahwa ajaran Ahmadiyah sesat.

Masyarakat, terutama yang beragama Islam, cenderung menyatakan sikap setuju dengan pelarangan Ahmadiyah dan memposisikan para pengikutnya sebagai orang-orang sesat, namun masyarakat tidak menerima tindakan kekerasan dari sejumlah kelompok Islam radikal terhadap Ahmadiyah.  Masyarakat memandang kelompok Ahmadiyah sebagai saudara sebangsa, sehingga dapat hidup berdampingan secara damai.

Penilaian masyarakat tentang penyebab peristiwa Cikeusik ternyata banyak yang menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab (43.6%). Begitu juga, atas pertanyaan pihak yang paling bertanggungjawab atas penyerangan Ahmadiyah, masyarakat kebanyakan menyatakan tidak tahu/tidak menjawab (33.3%).

Hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah di masa mendatang jika aka nada penyerangan, kebanyakan masyarakat juga menyatakan tidak tahu/tidak menjawab (48.7%). Masyarakat juga tidak tahu kondisi Ahmadiyah 5 tahun mendatang (50.4%)

Mengenai rekomendasi warga terhadap Ahmadiyah, masyarakat lagi-lagi menyatakan tidak tahu/tidak menjawab (41.1%). Masyarakat juga menyatakan tidak tahu soal perlu tidaknya pemerintah ikut campur dalam penanganan Ahmadiyah (42.0%). Begitu pula dengan dasar kebijakan pelarangan Ahmadiyah di daerah, masyarakat mengaku tidak tahu (48.4%).

Tak kalah menarik, persetujuan terhadap sejumlah tindakan terkait Ahmadiyah, sikap masyarakat tegas menolak keberadaan Ahmadiyah (48.9%%). Masyarakat yang tidak tahu pemerintah mengeluarkan SKB pembatas ruang gerak Ahmadiyah (45.4%).

Pengikut Ahmadiyah Sesat

Kendati mayoritas responden Muslim menyatakan bahwa penganut Ahmadiyah bukan merupakan saudara seiman, namun Setara Institute memplintir hasil survei dengan menyebutkan, bahwa masyarakat menganggap Ahmadiyah sebagai saudara sebangsa (68.1%).

Hasil survei Setara Institute menyatakan, mayoritas masyarakat tidak tahu soal ajaran Ahmadiyah. Ini menunjukkan tingkat ketauhidan dan pengetahuan masyarakat muslim begitu rendahnya. Padahal ulama dan media Islam banyak menginformasikan tentang kesesatan Ahmadiyah.

Anehnya lagi, ketika masyarakat mengaku tidak tahu ajaran Ahmadiyah, namun disisi lain, kebanyakan masyarakat setuju dengan pelarangan Ahmadiyah dan memposisikan para pengikutnya sebagai orang-orang sesat.

Seharusnya Setara Institute menyimpulkan, masyarakat menganggap jemaat Ahmadiyah bukan saudara se-iman, dan pengikut Ahmadiyah sebagai orang-orang sesat. (Destin)

Pembela Aliran Sesat di Indonesia

Profil Lembaga (Lembaga Swadaya Masyarakat)

YLBHI : didirikan oleh beberapa aktivis IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia), termasuk Adnan Buyung Nasution, yang sering kali mengklaim Yayasan ini milik pribadinya. Pada awalnya adalah LBH Jakarta yang merupakan program bantuan hukum yang bersifat sosial dari IKADIN. Yaitu hanya memberikan bantuan hukum gratis bagi orang-orang miskin yang tak mampu bayar pengacara. Namun karena pada awal tahun 80-an, Negara-negara barat memerlukan kaki tangan untuk memonitor bantuan dan hutang yang mereka berikan kepada pemerintah Indonesia, maka didirikanlah YLBHI, yaitu yayasan yang menaungi LBH-LBH yang ada diseluruh Indonesia yang didirikan oleh IKADIN tersebut. Sejak itu, yayasan ini menjadi antek dan kaki tangan bagi penyebaran ide-ide liberalisme.

Sumber keuangan YLBHI ini pada masa-masa awal berdirinya hingga tahun 2004 sebagaian besar berasal dari Belanda, Swedia, Belgia, Amerika Serikat, Kanada dan Australia, dalam jumlah ratusan juta hingga milyar rupiah, tergantung proyek dan agenda yang sedang dikerjakan oleh Negara-negara Barat tersebut. Pada saat Negara-negara barat berkeinginan menumbangkan Soeharto dari kekuasaannya, maka bantuan dalam milyar rupiah digelontorkan kepada Yayasan ini. Dalam jumlah yang tidak terlalu besar, hanya sekitar Rp.50 juta / bulan Pemprov DKI Jakarta sejak 2004 memberikan bantuan keuangan. Dan juga pada tahun anggaran 2006-2007, Pemprov DKI Jakarta memberika bantuan berupa uang sebesar Rp. 8 Milyar, untuk pembangunan gedung YLBHI. Tidak diketahui apakah dana bantuan ini di audit dan dipertangungjawabkan kepada rakyat, karena dana bantuan dari Pemrov DKI tersebut berasal dari APBD.

KONTRAS : pada awalnya adalah program kerja dari YLBHI, yang dijalankan oleh almarhum Munir. Dalam perjalanannya kemudian dikendalikan oleh para kontraktor LSM, seperti Asmara Nababan dan MM Billah. Lembaga ini memfokuskan diri pada aktivitas HAM dan seringkali menjadi mitra Negara-negara barat dalam berbagai bentuk program.

Sumber keuangan lembaga ini sepenuhnya berasal Amerika Serikat, Belanda, Swedia, Kanada, Australia dan Norwegia dan sebuah lembaga penyalur dana milik George Soros yaitu yaysan TIFA.

WAHID Institute adalah yayasan yang didirikan oleh Abdurrahman Wahid, sebagai pangkalan untuk penyebar ide-ide liberalism terutama yang ditujukan kepada organisasi Islam, lebih khusus lagi adalah upaya liberalisasi NU. Lembaga ini memfokuskan pada ide-ide pluralism, dimana mereka berupaya keras menanamkan pemikiran bahwa semua agama adalah benar. Pemikiran ini terutama disebarkan dikalangan NU.

Sumber keuangan lembaga ini juga sebagian besar berasal dari : Amerika Serikat, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.

SETARA Institute : setali tiga uang dengan LSM lainnya yang mempromosikan semua agama benar. Ide dasar dari berdirinya LSM ini adalah untuk menjadikan kaum minoritas dapat mengendalikan kekuasaan dan ekonomi. Setelah Hendardi berhenti dari PBHI, dicarikan tempat oleh para broker uang Negara-negara barat. Pada awalnya hanya agar Hendardi tetap bias eksis dudunia LSM. Bersama para aktivis yang ikur memisahkan Timor Timur dari Indonesia, Bonar Tigor Naipospos, mereka mulai menjual ide kesetraaan sebagai cara mendapatkan bantuan dana dari barat.

Sumber dana mereka ini sebagian besar juga berasal dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.

MAARIF Institute adalah lembaga yang didirikan dengan menggunakan nama besar mantan aktivis Islam Syafii Maarif. Tujuan utama lembaga ini adalah sama seperti Wahid Institute, namun lebih dikhususkan untuk membangun jaringan liberal di tubuh Muhammadiyah.

Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga berasal dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.

JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) adalah lembaga yang terang-terangan mengusung liberalism sebagai ideologinya. Awalnya lembaga ini didirikan oleh anak-anak muda pengangguran jebolan pesantren yang kemudian ditampung oleh Goenawan Mohamad sebagai pekerja di lingkungan utan kayu, tempat radio 68H milik Goenawan bermarkas. Awalnya lembaga ini berasal dari kegiatan kongkow-kongkow anak muda yang berfaham liberal, yang kemudian oleh Goenawan difasilitasi dan dikembangkan sebagai jaringan untuk menyusup kedalam organisasi Islam seperti NU dan lainnya. Sepertinya misi mereka ini setengah gagal, setelah aktivis JIL banyak yang loncat pagar dan sebagian bahkan benar-benar bekerja pada perusahaan milik goenawan.

Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga berasal dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.

MODERATE MUSLIM SOCIETY (MMS) ini adalah lembaga yang didirikan mantan aktivis JIL, setelah di kader didalam JIL Zuhairi Misrawi mendirikan Moderate Muslim Sociaty. Tujuan utamanya adalah menjadikan umat Islam bersikap lemah terhadap kekufuran. Dari nama lembaganya jelas sekali bahwa ini adalah perpanjangan tangan dari agenda RAND Corp, sebuah lembaga milik zionis internasional yang bermarkas di Amerika Serikat.

Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga ditopang dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.

IMPARSIAL adalah LSM yang didirikan oleh aktivis gereja Asmara Nababan bersama almarhum Munir. Awalnya adalah untuk menampung almarhum Munir yang keluar dari YLBHI karena bertentangan dengan Adnan Buyung Nasution. Sebagai atktivis senior, Asmara Nababan yang telah meninggal ini, tahu betul manfaat dari almarhum Munir yang punya popularitas di dunia LSM. Dengan issu HAM sebagai jualan utamanya, lembaga ini berusaha untuk eksis ditengah-tengah ribuan LSM lainnya. Hanya karena jaringan dengan lembaga penyandang dana yang dimiliki oleh Asmara Nababan saja lebaga ini dapat eksis, entah bagaimana nasibnya setelah ditinggal oleh para aktivisnya, seperti Munir, Asmara Nababan yang meninggal dunia, dan aktivis lainnya yang loncat ke Patai demokrat.

Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga ditopang dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda, Swedia dan Norwegia.

HRWG (Human Right Working Group) didirikan oleh aktivis yang selama ini tinggal di Belanda yaitu Rafendi Jamin, mantan aktivis di UI tahun 80-an. Awalnya adalah sebagai sarana bagi para LSM Indonesia yang ingin jalan-jalan ke Geneva dengan kedok lobby kepada Dewan HAM PBB yang bersidang setiap tahun di bulan Maret hingga April. Lembaga ini menjadi Fasilitator bagi para aktivis tersebut. Di Genewa, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menjual informasi kepada delegasi dari Negara-negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan beberapa Negara pemberi dana lainnya. Inilah yang mereka sebut sebagai membawa persoalan HAM di Indonesia kepada Dewan HAM PBB. Melalui HRWG ini mereka menjadi panitia seleksi bagi para aktivis LSM yang hendak jalan-jalan ke Swiss.

Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga ditopang dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda, Swedia dan Norwegia.


Profil Individu (Para Antek Ahmadiyah)

Ulil Abshar Abdalla adalah seorang lulusan pesantren yang mencoba peruntungannya dengan sekolah di berbagai tempat. Di LPIA, sebuah lembaga pendidikan milik kerajaan Saudi, dia tidak menyelesaikan hingga tamat, begitu juga ketika diberi kesempatan sekolah di sebuah universitas di Amerika Serikat, lagi-lagi Ulil harus Drop Out, Karena tidak bisa menyelesaikan tepat waktu.

Ulil mencoba melobby untuk sekolah ke Australia, dan ternyata dia pun tidak mampu untuk memenuhi syarat sebagai penerima bea siswa.

Hendardi adalah mantan aktivis di ITB sekitar tahun 80-an yang tidak sempat menyelesaikan pendidikannya di ITB. Lalu kemudian dibesarkan oleh Buyung Nasution di YLBHI, dan kemudian mendirikan PBHI setelah konflik hingga menggunakan kekerasan lawan buyung Nasution dan almarhum Ali Sadikin. Setelah selesai dari PBHI yang juga banyak meninggalkan konflik didalamnya, dia kemudia mendirikan Setara Institute bersama aktivis pro kemerdekaan Timor Timur, Bonar Tigor Naipospos.

Beberapa kali Hendardi sempat mencoba untuk kuliah hukum di perguruan tinggi yang tak dikenal, namun tidak diketahui apakah menyelesaikan sarjana hukumnya atau tidak.

Goenawan Mohammad adalah seorang liberalis sejati. Sejak lama menjadi kaki tangan Amerika Serikat dalam penyebaran faham liberal. Bahkan majalah Tempo yang dia dirikan awalnya adalah perpanjangan tangan dari program yang dijalankan oleh United State Information Agency, yang merupakan lembaga rahasia yang ditugaskan untuk mempropagandakan faham Amerika ke seluruh dunia.

Pada saat majalah Tempo di breidel, Goen, demikian dia biasa dipanggil, berhubungan erat dengan aktivis PRD. Bahkan diduga kuat mengetahui dan mendorong aktivis PRD untuk melakukan perlawanan keras terhadap Soeharto, yang berujung pada meledaknya Bom di rumah susun Tanah Tinggi pada tahun 1996.

Peristiwa bom Tanah Tinggi di kawasan Senen Jakarta ini, adalah peristiwa teror yang terjadi pada masa Soeharto yang didukung sepenuhnya oleh aktivis pro demokrasi, dengan ikut menyembunyikan dan melindungi para perakit bom.

(Ibnu Hamid)

PROFILE SETARA INSTITUTE


SETARA Institute adalah perkumpulan individual/perorangan yang didedikasikan bagi penyedotan uang zionis yang akan digunakan untuk kepentingan perut dan di bawah perut para aktivisnya di Indonesia. 

SETARA Institute didirikan oleh orang-orang yang peduli pada penghapusan atau pengurangan diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama, etnis, suku, warna kulit, gender, dan strata sosial lainnya serta peningkatan solidaritas atas perintah sang majikan yaitu zionis internasional. 

SETARA Institute percaya bahwa masyarakat demokratis akan mengalami kemajuan jika tumbuh saling pengertian dan pengakuan terhadap keberagaman, kecuali terhadap Islam.  Karena itu langkah-langkah memperkuat rasa hormat atas keberagaman dan hak-hak manusia dengan membuka partisipasi lebih luas diharapkan dapat mendorong terciptanya The New World Order sesuai dengan protokol zionis internasional. 

SETARA Institute mendorong terciptanya kondisi politik yang diinginkan majikan, pembelaan hak manusia kecuali hak Ummat Islam, penghapusan sikap intoleran dan xenophobia yang mesti disesuaikan dengan kebijakan zionis internasional.

Visi Organisasi

Mewujudkan perlakuan setara, plural dan bermartabat atas semua orang kecuali ummat islam dalam tata sosial politik demokratis untuk menyerang Ajaran Islam

Nilai-nilai Organisasi

* Kesetaraan
* Kemanusiaan
* Kekafiran 
* Pluralisme
* Demokrasi


Misi Organisasi

1. Mempromosikan, pluralisme, humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia dalam upaya menghancurkan Agama Islam
2. Melakukan studi dan advokasi kebijakan publik dibidang pluralisme, humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia dengan mengesampingkan agama khusunya agama Islam,
3. Melancarkan dialog dalam penyelesaian konflik untuk mencuci otak ummat Islam.
4. Melakukan pendidikan publik melalui riset bodong dan penipuan akademis demi sesuap nasi dari zionis

Keanggotaan

SETARA Institute ini beranggotakan individu-individu yang peduli pada marginalisasi ajaran Islam, perusakan aqidah ummat Islam seperti promosi gagasan dan praksis pluralisme, humanitarian, demokrasi, dan hak asasi manusia, yang bersifat perorangan dan suka rela.

Managemen Organisasi
Dewan Nasional
Ketua: Azyumardi Azra
Sekretaris: Benny Soesetyo
Anggota: Kamala Chandrakirana
M. Chatib Basri
Rafendi Djamin

Badan Pengurus
Ketua: Hendardi
Wakil Ketua: Bonar Tigor Naipospos
Sekretaris: R. Dwiyanto Prihartono
Wakil Sekretaris: Damianus Taufan
Bendahara: Ade Rostina Sitompul
Manager Program: Ismail Hasani

Badan Pendiri
Abdurrahman Wahid
Ade Rostiana S.
Azyumardi Azra
Bambang Widodo Umar
Bara Hasibuan
Benny K. Harman
Benny Soesetyo
Bonar Tigor Naipospos
Budi Joehanto
Damianus Taufan
Despen Ompusunggu
Hendardi
Ismail Hasani
Kamala Chandrakirana
Luhut MP Pangaribuan
M. Chatib Basri
Muchlis T
Pramono Anung W
Rachlan Nashidik
Rafendi Djamin
R. Dwiyanto Prihartono
Robertus Robert
Rocky Gerung
Saurip Kadi
Suryadi A. Radjab
Syarif Bastaman
Theodorus W. Koerkeritz
Zumrotin KS

KITAB SUCI SETARA INSTITUTE

Masih berkedok hasil riset, Setara Institute ternyata gencar mempublikasikan sebuah laporan ngawur tentang radikalisme agama. Walapun laporannya tentang Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat dianggap oleh beberapa kalangan sebagai “sampah”, LSM liberal itu kembali mempublikasikannya.

Untuk ketiga kalinya, di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Setara kembali mendiskusikan laporan ‘sampah’ itu. Ketika dikonfirmasi oleh Suara Islam Online (SI) mengenai hasil research yang dikatakan sebagian kalangan sebagai “sampah”, Ismail Hasani, peneliti senior Setara Instite ini berkilah, bahwa pernyataan itu merupakan provokasi.

“Itu merupakan provokasi kepada publik”, kilahnya, Senin (24/1/2011).

Ismail mengklaim penelitian yang dilakukan lembaganya berdasarkan metodologi HAM. Riset Setara Institute juga dikatakan telah menggunakan kerangka kerja dengan pedoman kitab suci HAM, konstitusi dan Pancasila

“Setara Institute adalah organisasi HAM bukan perkumpulan orang beriman yang menggunakan kerangka kerja berdasarkan keyakinan-keyakinannya. Kitab suci kami adalah HAM, Konstitusi dan Pancasila”, kata Ismail.

Seperti diberitakan oleh Tabloid Suara Islam edisi 105 lalu, laporan Setara Institute dikatakan oleh Nawab seorang Dosen di Nanyang Technological University, Singapura, sebagai laporan sampah.

“Rubbish”, komentar Nawab singkat usai membaca laporan setebal 181 halaman itu. Mahasiswa tingkat doktoral di Australian National University, Canberra, Australia itu menilai laporan Setara Institute berjudul “Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat; Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” itu bak laporan “sampah”.

Tak ayal, lelaki yang sedang menyelesaikan disertasinya tentang sebuah gerakan Islam di Indonesia itu menuding Setara hanya mengejar dolar.

FITNAH KEJI SETARA INSTITUTE TERHADAP ORMAS ISLAM

Arrahmah.com - Senin (10/1/2011) lalu, Setara Institut menggelar Diskusi Publik “Deradikalisasi Agama untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara dan Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta. Lagi, paket Proyek Deradikalisasi serang pimpinan ormas Islam yang selama ini membendung aliran sesat, pemurtadan dan mengkampanyekan tegaknya syariat Islam.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi: Inpektur Jenderal polisi Ansyad Mbai (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris), DR. Abdul Mu’ti (tokoh Muhammadiyah), Imdadun Rahmat (Wasekjen PBNU), Ismail Hasani (Peneliti Setara Institut). Setara juga mengundang istri Sinta Nuria, tokoh Ahmadiyah, para dubes asing, dan aktivis liberal lainnya.

Setara Institute adalah organisasi perhimpunan yang didirikan oleh 28 individu (termasuk Gus Dur di dalamnya) itu memiliki cita-cita mewujudkan masyarakat yang liberal, sekuler, dan plural. Salah satu perhatian utama LSM komparador ini adalah turut serta berkembangnya paham aliran sesat di Indonesia, membiarkan dan membela kemaksiatan merajalela di bumi ini. Atas nama toleransi, demokrasi dan HAM, NGO yang satu ini selalu usil dan mencari-cari celah memberi stigmatisasi kepada para ulama dan orma Islam yang selama ini berjuang membela Islam.

Setara Institute dan partnernya sesama pengasong sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) sedemikian paranoid dengan banyaknya bermunculan ormas Islam yang ingin negeri ini aman, diberkahi dan terhindar dari musibah dan bencana.

Atas nama riset dan penelitian, Setara Institut secara tendensius menyudutkan ormas Islam yang selama ini berjuang menyelamatkan akidah umat dari pemurtadan. Penelitian yang hanya dilakukan dalam tempo singkat, tiga bulan itu, tidak disertai dengan wawancara pimpinan Ormas Islam yang diteliti. Tapi mengatasnamaka riset. Pantas bila laporannya begitu ngelantur dan ngawur. Seperti anak SD yang sedang belajar mengarang.

Dalam sebuah laporan “bodong” berjudul : Radikalisme Agama di Jadebotabek & Jawa Barat – Implikasinya terhadap Jaminan Kebebebasan Beragama/Berkeyakinan, Setara Institute mengolok-olok para ulama dan pimpinan ormas Islam, seperti FPI, FUI, FUI Cirebon, Garis, DDII dan sebagainya.

Ada lima bab yang dilaporkan dalam penelitian setebal 181 halaman itu, meliputi: Bab I (Pendahuluan), Bab II (Genealogi Islam Radikal), Bab III (Potret Radikalisme di Perkotaan), Bab IV (Ragam Wajah Satu Cita-cita), Bab V (Wajah Para Pembel Islam), Bab VI (Masa Depan Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan).

Dalam Bab II misalnya, Setara Institute menjabarkan Masyumi dan Darul Islam, Dari DDII ke Islam Transnasional dan Islam Radikal Lokal; Gelombang Radikalisasi Islam; Konteks Radikalisasi Islam di Jakarta dan Jawa Barat. Pada Bab IV, juga dipaparkan ihwal Aktor, Basis Massa, Rekruitmen Anggota, Dana, Aliran dan Doktrin Ajaran, Agenda Aksi, Strategi Dan Taktik, Dinamika Perpecahan.

Setara Institut dengan bernafsunya juga menelanjangi ormas Islam dan para pimpinannya yang selama ini giat membela Islam. Ormas Islam yang dibidik itu antara lain: FUI (Forum Umat Islam), FPI (Front Pembela Islam), GARIS (Gerakan Reformis Islam), FAPB (Front Anti Pemurtadan Bekasi), FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah) Cirebon, THOLIBAN. Termasuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

“Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukanm oleh Negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan. Kami juga merekomendasi penelitian ini, agar Negara dapat menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi dan melakukan deradikalisasi pandangan, prilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi,” kata Peneliti Setara Institut Ismail Hasani sewot.

Penelitian Ngawur

Dalam pengantarnya, Hendardi (Ketua Pengurus Setara Institute) sesumbar, dalam tiga tahun terakhir ini (2007-2010), negeri ini dalam kondisi memperihatinkan. Tahun 2007, Setara mencatat terdapat 185 jenis tindakan dalam peristiwa 135 kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun 2008, terdapat 367 tindakan di 265 peristiwa. Tahun 2009, masih dalam survey Setara, terdapat 291 tindakan untuk 200 peristiwa. Tahun 2010, tidak kurang 175 peristiwa.

Dengan omongan kosongnya, Hendardi menebar fitnah, sebagian besar peristiwa pelanggaran, berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Setara institute pun memilih dua wilayah: Jadebotabek dan Jawa Barat untuk “meriset” tentang radikalisasi.

“Penelitian di kedua wilayah ini merupakan barometer politik Indonesia. Temuan riset secara umum, menunjukkan bahwa tingkat intoleransi di dua wilayah ini cukup tinggi, karena banyak faktor. Namun yang utama, justru, bukan dari faktor agama itu sendiri. Keberadaan organisasi Islam radikal yang selama ini gemar melakukan aksi kekerasan, hanyalah sebagai katalisator dan incubator bagi menguatnya radikalisme di tengah masyarakat, ”tandas Hendardi.

Penyebab radikalisme, lanjut Hendardi, selain disebabkan geneologi gerakan masa lalu, juga disebabkan kondisi mental masyarakat yang frustasi, tak terkecuali kesejahteraan yang tidak merata. Setara Institut telah merekomendasi 8 langkah yang bisa ditempuh oleh berbagai institusi negara yang relevan, dalam rangka deradikalisasi masyarakat. Secara khusus, rekomendasi menunjukkan betapa pentingnya membuat kanal-kanal politik dan ekonomi, untuk deradikalisasi yang ada di tengah masyarakat.

“Sebelum dialog ini berlangsung, Setara Institut mengaku sudah menemui institusi Negara. Acara ini sekaligus, kami peruntukkan untuk mengenang satu tahun wafatnya Abdurrahman Wahid selaku pendiri Setara Institut,” ujar Hendardi

Sementara itu Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, memaparkan, bahwa pemilihan wilayah Jawa Barat dan Jadebtabek, bukan tanpa dasar. Menurutnya, wilayah tersebut sudah menjadi pemantauan LSM ini selama empat tahun terakhir, dimana di Jadebotabek dan Jawa Barat telah menempati rangking pertama atas tindakannya melakukan diskriminasi terhadap jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.

“Publik bertanya, kenapa Jadebotabek dan Jawa Barat selalu berada di rangking pertama yang banyak melakukan pelanggaran. Karena itu kita turun ke lapangan untuk mendeteksi secara lebih mendalam, kenapa bisa terjadi pelanggaran,” kata Ismail Hasani.

Setara Institute mencatat, organisasi radikal ini semakin intensif. Nyaris semua pelanggaran, selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Karena itu pihaknya ingin mengecek seberapa jauh dukungan masyarakat terhadap organisasi ini. “Tujuan studi ini awalnya semata-mata untuk mengenali profil organisasi-organsiasi Islam. Karena perannya selama ini dianggap mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Setelah mengenali, kami menakar implikasinya. Kami yang selama ini mengusung pluralisme, ingin mengukur apakah organisasi ini mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan? Karena itu kita lakukan penelitian ini.”

Ada empat pertanyaan yang diajukan dalam penelitian tersebut. Pertama, bagaimana pandangan masyarakat terhadap organisasi Islam radikal? Setara melihat, akhir November 2010 lalu, media massa memberitakan, bahwa masyarakat di Jabotabek memiliki tingkat intoleranasi yang tinggi.

“Kami tegaskan dalam forum ini, bahwa intoleransi yang terkait dengan hubungan sosial, boleh dikatakan cukup tinggi. Mengenai kehidupan keberagamaan yang lebih privat, ada temuan yang mengejutkan. Misalnya, masyarakat dejabotabek tidak senang/tidak setuju ketika di sekelilingnya atau lingkungannya terdapat tempat ibadah agama lain. Sekalipun angkanya tidak mayoritas, tapi sebagai sebuah bangsa yang plural dan memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, temuan ini menjadi serius,” papar Ismail.

Tapi ketika ditanya soal kekerasan yang dilakukan terhadap organisasi Islam, di atas 80% masyarakat kita menolak kekerasan. Inilah model sosial kita. Karena itu, kata Ismail, yang perlu dikembangkan adalah dengan melakukan deradikalisasi.

Lebih jauh Ismail membagi intoleransi, yakni: aktif dan pasif. Adapun intoleransi Pasif adalah ketika intoleranasi tidak memanifestasi menjadi kekerasan. Pandangan ini masih dianggap sah-sah saja. Sedangkan intoleransi aktif, jika sudah memanifestasi kekerasan, termasuk dalam bentuk verbal.

“Pernyataan publik yang memprovokasi kekerasan, jelas berbahaya. Deradikalisai menjadi penting dilakukan. Biasanya, tahapan setelah intoleransi aktif, maka akan menjadi radikal, lalu jika katalisator dan inkubatornya bekerja dengan baik, bisa saja menjadi terorisme.

Maka dari itu Setara menyakini, bahwa terorisme adalah puncak dari tindakan intoleransi. Sebaliknya, intolerasi adalah titik awal terjadinya terorisme.”

Sedangkan Abdul Mu’ti (tokoh muda Muhammadiyah berpaham liberal, mengolok-olok kelompok Islam dan ulama yang selama ini berjuang untuk Islam. Kata Mu’ti, ulama dan pimpinan ormas Islam termotivasi dengan uang.

“Radikalisme itu seperti perusahaan. Kalau tidak berhasil, akan membentuk organisasi lain.

Saya menduga, jangan-jangan radikalisasi tidak punya akar ideologi, tapi akar pragmatisasi atau dorongan mencari rezeki. Karena itu, kaitan dengan sumber dana yang diperolehnya harus dilacak lebih jauh,” kata penulis buku Kristen Muhammadiyah ini cengengesan.

Mu'ti berpandangan, bermunculannya banyak organisasi Islam adalah konsekuensi dari demokrasi itu sendiri. Apa yang disebut freedom of speech, bahwa semua orang bisa bicara apa saja.

Ketika semua ideologi muncul, tidak ada satupun yg menyembunyikan identitasnya. Ya itulah konsekuaensi demokrasi. Freedom ekpresion. “Bercadar sebaiknya juga jangan dilarang, itu konsekusi demokrasi. Media pun bebas bicara, selama melakukan coverbothside: kedua pihak diberi ruang untuk bicara,” kata Mu’ti.

Ketika dimintai tanggapannya tentang hasil penelitian yang dilakukan Setara Institut yang didalam salah satu laporannya memuat pernyataan yang menyerang FUI, Sekjen FUI KH. Muhammad al Khaththath menanggapinya dengan enteng sambil tersenyum lebar.

“Laporan yang disampaikan Setara Institute bukanlah penelitian ilmiah. Penelitian itu tak lebih laporan bodong, kacangan, dan tidak berdasar. Lha, saya sendiri tidak pernah diwawancarai oleh pihak Setara. Bagaimana mungkin disebut riset penelitian, jika saya yang disebut-sebut dalam laporan itu tidak pernah dikonfirmasi. Gitu aja kok repot,” kata Ustadz Al Khaththath.

Pernyataan sikap Forum Jurnalis Muslim (ForJIM) : kontribusi Setara Institute cs menghancurkan moral bangsa

Cap radikal yang diberikan oleh Setara Institut terhadap ulama dan pimpinan ormas Islam adalah makar dan pemutarbalikkan fakta. Bukan hanya itu, LSM pengasong sepilis (sekularisme, pluralism dan liberalism) tersebut telah mencemarkan nama baik ulama dan pimpinan ormas Islam.

Patut digarisbawahi, selama ini, keberadaan ormas Islam berfungsi sebagai benteng penjaga moral dan akidah umat dari kemaksiatan, penyimpangan, dan kesesatan. Pekerjaan dakwah ini seharusnya mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Negara.

Tapi apa yang terjadi, LSM-LSM komparador seperti Setara Institute justru membiarkan aliran sesat marak dimana-mana, mendukung kemaksiatan merajalela, dan menjadi pembela para peleceh Islam, dan satu hal lagi, anti dengan syariat Islam. Setara Institute dan konco-konconya juga menjadi agen Barat (terutama AS), dan mensupport sistem ekonomi neo-liberal (neolib). Ini menunjukkan LSM yang didirikan Abdurrahman Wahid ini turut berkontribusi menghancurkan moral bangsa. Setara Instutute cs tidak peduli dengan dekadensi moral umat yang kian memperihatinkan.

Setara Institute jelas-jelas ingin memperkeruh suasana dengan mengadopsi strategi kolonial: melancarkan politik devide et impera (Politik adu domba) antar ormas Islam yang satu dengan ormas Islam lainnya. Termasuk mengompori para pimpinan ormas Islam. Jelas sekali, Setara Institute dan teman sejenisnya menjadi Tukang Kompor alias Provokator radikal. Tanpa disadari, HTI dijadikan narasumber oleh Setara Institute untuk menelanjangi FUI. Tujuannya bisa dipastikan untuk membenturkan sesame ormas Islsam. Islamphobi telah melekat pada diri aktivis Setara dan parternnya.

Dengan mengatasnamakan riset, Setara Institute melakukan penelitian berjudul “Radikalisme Agama di Jabotabek & Jawa Barat” – Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Riset yang dikarang-klarang itu berkisah tentang rasikalisme agama di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jadebotabek) serta Jawa Barat. Tujuannya, ingin menyajikan wajah-wajah organisasi Islam yang menurutnya, dianggap mengganggu jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.

Berbagai peristiwa yang dibeberkan Setara Institut dengan menggunakan bahasa “Kekerasan” sangat tidak tepat dan cenderung tendensius. Gelombang protes yang dilakukan masyarakat terhadap bermunculan aliran sesat, kemaksiatan, pelanggaran tempat ibadah non Muslim, sesungguhnya adalah telah tertanamnya tauhid dan akidah umat yang kuat. Di sisi lain, merupakan keberhasilan dakwah yang disampaikan para ulama dan peran serta Ormas Islam.

Bersamaan dengan itu, kesadaran beragama umat tumbuh dan berkembang.Harus diakui Pemerintah belum maksimal dalam menegakkan supremasi hukum. Sudah jelas aturan tentang SKB Tiga Menteri tentang rumah ibadah, namun pemerintah tidak bisa menindak para pelanggar yang menjadi rumah dan ruko sebagai tempat ibadah illegal. Siapa sesungguhnya yang melakukan pelanggaran? Jelas mereka dan para pendukungnya. (Ahmad Zidan/arrahmah.com)

RISET PALSU LAPORAN BODONG

JAKARTA (voa-islam.com) – Atas nama penelitian, Setara Institute membuat laporan bodong yang menyudutkan ormas-ormas Islam. Untuk menampik dan mengcounter balik fitnah Setara Institute, pimpinan ormas-ormas Islam akan menggelar jumpa pers.

Atas nama riset dan penelitian, Setara Institute secara tendensius menyudutkan ormas Islam yang selama ini berjuang menyelamatkan akidah umat dari pemurtadan. Penelitian yang hanya dilakukan dalam tempo singkat selama tiga bulan itu, tidak disertai dengan wawancara pimpinan Ormas Islam yang diteliti. Tapi mengatasnamakan riset. Pantas bila laporannya begitu ngelantur dan ngawur seperti anak SD yang sedang belajar mengarang.

Dalam sebuah laporan “bodong” berjudul “Radikalisme Agama di Jadebotabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan,” Setara Institute mengolok-olok para ulama dan pimpinan ormas Islam, seperti FPI, FUI, FUI Cirebon, Garis dan sebagainya.

Senin (10/1/2011) Siang, Setara Institute menggelar Diskusi Publik “Deradikalisasi Agama untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara dan Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi: Inspektur Jenderal polisi Ansyad Mbai (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris), DR. Abdul Mu’ti Institut (Sekretaris PP Muhammadiyah), Imdadun Rahmat (Wasekjen PBNU), Ismail Hasani (Peneliti Setara Institute). Setara juga mengundang istri almarhum Sinta Nuria, tokoh Ahmadiyah, para dubes asing, dan aktivis liberal lainnya.

Dalam pengantarnya, Hendardi (Ketua Pengurus Setara Institute) sesumbar, dalam tiga tahun terakhir ini (2007-2010), negeri ini dalam kondisi memprihatinkan. Tahun 2007, Setara mencatat terdapat 185 jenis tindakan dalam peristiwa 135 kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun 2008, terdapat 367 tindakan di 265 peristiwa. Tahun 2009, masih dalam survey Setara, terdapat 291 tindakan untuk 200 peristiwa. Tahun 2010, tidak kurang 175 peristiwa.

Dengan omongan kosongnya, Hendardi menebar fitnah, sebagian besar peristiwa pelanggaran, berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Setara institute pun memilih dua wilayah: Jadebotabek dan Jawa Barat untuk “meriset” tentang radikalisasi.

“Penelitian di kedua wilayah ini merupakan barometer politik Indonesia. Temuan riset secara umum, menunjukkan bahwa tingkat intoleransi di dua wilayah ini cukup tinggi, karena banyak faktor. Namun yang utama, justru, bukan dari faktor agama itu sendiri. Keberadaan organisasi Islam radikal yang selama ini gemar melakukan aksi kekerasan, hanyalah sebagai katalisator dan incubator bagi menguatnya radikalisme di tengah masyarakat,” jelas Hendardi.

Penyebab radikalisme, lanjut Hendardi, selain disebabkan geneologi gerakan masa lalu, juga disebabkan kondisi mental masyarakat yang frustasi, tak terkecuali kesejahteraan yang tidak merata. Setara Institute telah merekomendasi 8 langkah yang bisa ditempuh oleh berbagai institusi negara yang relevan, dalam rangka deradikalisasi masyarakat. Secara khusus, rekomendasi menunjukkan betapa pentingnya membuat kanal-kanal politik dan ekonomi, untuk deradikalisasi yang ada di tengah masyarakat.

Sebelum dialog ini berlangsung, Setara Institute mengaku sudah menemui institusi Negara. Acara ini sekaligus, kami peruntukkan untuk mengenang satu tahun wafatnya Abdurrahman Wahid selaku pendiri Setara Institute.

Senada itu, peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, memaparkan, bahwa wilayah Jawa Barat dan Jadebotabek sudah menjadi pemantauan LSM ini selama empat tahun terakhir. Menurutnya, Jadebotabek dan Jawa Barat telah menempati rangking pertama atas tindakannya melakukan diskriminasi terhadap jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.

“Publik bertanya, kenapa Jadebotabek dan Jawa Barat selalu berada di rangking pertama yang banyak melakukan pelanggaran. Karena itu kita turun ke lapangan untuk mendeteksi secara lebih mendalam, kenapa bisa terjadi pelanggaran,” kata Ismail Hasani.

Setara Institute mencatat, organisasi radikal ini semakin intensif. Nyaris semua pelanggaran, selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Karena itu pihaknya ingin mengecek seberapa jauh dukungan masyarakat terhadap organisasi ini.

“Tujuan studi ini awalnya semata-mata untuk mengenali profil organisasi-organisasi Islam. Karena perannya selama ini dianggap mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Setelah mengenali, kami menakar implikasinya. Kami yang selama ini mengusung pluralism, ingin mengukur apakah organisasi ini mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan? Karena itu kita lakukan penelitian ini,” tandas Ismail.

Lebih jauh Ismail membagi intoleransi menjadi dua, yakni: aktif dan pasif. Adapun intoleransi Pasif adalah ketika intoleransi tidak memanifestasi menjadi kekerasan. Pandangan ini masih dianggap sah-sah saja. Sedangkan intoleransi aktif, jika sudah memanifestasi kekerasan, termasuk dalam bentuk verbal.

“Pernyataan publik yang memprovokasi kekerasan, jelas berbahaya. Deradikalisasi menjadi penting dilakukan, biasanya, tahapan setelah intoleransi aktif, maka akan menjadi radikal, lalu jika katalisator dan inkubatornya bekerja dengan baik, bisa saja menjadi terorisme. Maka dari itu Setara meyakini, bahwa terorisme adalah puncak dari tindakan intoleransi. Sebaliknya, intoleransi adalah titik awal terjadinya terorisme,” jelas Ismail.

Sementara itu Abdul Mu’ti, salah seorang pembicara dalam Diskusi Publik Setara Institute, mengkritisi laporan penelitian Setara Institute. Menurut Sekretaris PP Muhammadiyah ini, judul laporan keliru dan tidak tepat. Menurutnya, judul yang lebih tepat adalah “Aktualisasi Radikalisme,” bukan “Radikalisme Agama.”

“Karena saya tidak melihat kelompok Islam yang diteliti ini, apakah awalnya moderat, liberal, lalu menjadi radikal. Atau mereka memang sudah radikal sejak kelahirannya. Sehingga yang terjadi sekarang adalah satu ideologi banyak wajah. Hanya beda aktualisasi saja. Agenda dan ideologi boleh sama, tapi strategi berbeda.

Mu’ti berpandangan, bermunculannya banyak organisasi Islam adalah konsekuensi dari demokrasi itu sendiri. “Apa yang disebut freedom of speech, bahwa semua orang bisa bicara apa saja. Ketika semua ideologi muncul, tidak ada satupun yang menyembunyikan identitasnya. Ya, itulah konsekuensi demokrasi. Freedom expression,” jelasnya.
Ormas-ormas Islam bersatu hadapi fitnah laporan bodong Setara Institute

Ketika diminta tanggapannya tentang hasil penelitian Setara Institute yang di dalam salah satu laporannya memuat pernyataan yang menyerang FUI, Sekjen FUI KH Muhammad Al-Khaththath berkomentar dengan enteng sambil tersenyum lebar.

“Laporan yang disampaikan Setara Institute bukanlah penelitian ilmiah. Penelitian itu tak lebih laporan bodong, kacangan, dan tidak berdasar. Lha, saya sendiri tidak pernah diwawancarai oleh pihak Setara. Bagaimana mungkin disebut riset penelitian, jika saya yang disebut-sebut dalam laporan itu tidak pernah dikonfirmasi. Gitu aja kok repot,” kata Ustadz Al-Khaththath saat dijumpai voa-islam di sekretariat Forum Umat Islam (FUI) Jakarta, Senin (10/1/2011).

Untuk menampik semua tudingan Setara Institute itu, Rabu siang (12/1/2011), pimpinan ormas-ormas Islam yang terfitnah, seperti FPI, Garis, FUI, FUI Cirebon, FAPB, Tholiban, dll akan menggelar pertemuan di sekretariat FUI Jakarta. “Ormas-ormas Islam akan mengcounter balik fitnah Setara Institute yang telah mencemarkan nama baik organisasi dan pimpinan ormas Islam,” jelas Khaththath. [desastian]

KETIKA AGAMA DIPERTUKARKAN UANG

Menghilangnya toleransi antar-agama di Bekasi ternyata karena aksi agresif Kristenisasi. Anehnya, laporan ICG tentang Kristenisasi tak dipedulikan. Kenapa?

Koran Kompas Kamis, 16 Desember 2010, menulis bahwa kekerasan berlatar-belakang agama di Indonesia makin marak. Dan persoalan itu harus diselesaikan tuntas karena kekerasan yang menodai multikulturalisme itu bakal mengancam demokrasi Indonesia.

Meningkatnya kekerasan, menurut koran tadi, akibat absennya pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang melanggar hak azasi warga negara. Karena itu, kelompok sipil berbasis agama diminta mengambil tindakan yang tak memberikan toleransi kepada kelompok yang mengatas-namakan agama tertentu untuk melakukan kekerasan.

Persoalan ini, kata koran itu, mengemuka dalam peluncuran Jurnal Maarif edisi akhir tahun di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta, sehari sebelumnya, serta diskusi yang dilakukan Maarif Institute, lembaga yang dipimpin Ahmad Syafii Maarif yang sedang bersengketa dengan Tabloid Suara Islam di Dewan Pers karena pemberitaan hadiah apartemen mewah yang didiami bekas Ketua PP Muhammadiyah ini di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Persoalannya: benarkah analisa para ahli Maarif Institute yang disebar-luaskan Kompas itu? Benar kalau dikatakan peristiwa kekerasan sekarang meningkat. Tapi salah kalau dikatakan peningkatan itu hanya terjadi pada kekerasan berlatar-belakang agama. Lihatlah televisi setiap sore, beritanya selalu diwarnai peristiwa kekerasan dari segala pelosok Tanah Air.

Tapi kekerasan itu bukan hanya berlatar-belakang agama seperti dianalisa para ahli Maarif Institute dan kemudian dituliskan Kompas. Analisa itu terkesan dipaksakan untuk tujuan tertentu. Begitu pula Kompas yang terus-menerus memberitakan isu yang sama.

Banyak kekerasan terjadi sebagai ekor Pilkada. Ada kekerasan karena perampasan lahan, penggusuran pedagang kaki lima, tawuran antar-pelajar, bahkan antar-mahasiswa. Malah yang tercatat sebagai peristiwa kekerasan paling seru adalah ketika dua kelompok preman bertarung di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di Jalan Ampera Raya, akhir September lalu.

Dua kelompok menggunakan berbagai senjata tajam seperti golok dan kelewang. Malah beberapa menggunakan senjata api. Terjadi tembak-menembak di jalan raya, di siang bolong, tanpa polisi bisa mencegah. Korban pun berjatuhan. Setidaknya 3 orang terbunuh, 12 terluka termasuk 3 di antaranya polisi.
Yang hendak dikatakan: Maarif Institute – dan institute semacamnya yang banyak tumbuh di masa 8 tahun pemerintahan Presiden Bush di Amerika Serikat yang memerangi Islam – tak boleh memicingkan mata bahwa Indonesia sekarang memang cendrung rusuh.

Kalau Maarif Institute atau Kompas menyinggung masalah kekerasan berlatar- belakang agama, yang dirujuk hampir pasti peristiwa Ciketing, perkelahian kelompok masyarakat setempat dengan rombongan jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang mengakibatkan sejumlah orang cedera, 12 September lalu.
Akibat pemberitaan seru Kompas diikuti media lain – yang tak berimbang (cover both side) – polisi menangkap pelaku tawuran hanya dari kelompok masyarakat setempat. Padahal menurut Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziek Shihab di dalam rombongan HKBP ada dua jemaah bermarga Purba dan Sinaga membawa pisau dan tertangkap tangan oleh polisi tapi segera dilepaskan. Selain itu 9 anggota masyarakat terluka tapi anehnya tak ada jemaat HKBP yang ditangkap.

Maka di tengah laporan media massa yang tak berimbang, pendapat sementara tokoh yang bias, tapi kemudian tersebar luas tanpa sikap kritis media massa, adalah amat menarik membaca laporan International Crisis Group (ICG), 24 November lalu, berkaitan dengan peristiwa kekerasan berlatar-belakang agama di Indonesia. ICG bukan institusi Islam, jadi jelas tak ada hubungannya dengan FPI mau pun MUI.
ICG adalah lembaga nirlaba berpusat di Brussels, Belgia. Institusi itu kini dipimpin Louise Arbour, wanita berusia 63 tahun, bekas Hakim Agung Kanada dan bekas Komisi Tinggi PBB Urusan HAM (United Nations High Commissioner for Human Rights).

Tentu jangan bandingkan ICG dengan Maarif Institute, Setara Institute, Wahid Institute, atau Moderate Muslim Society (MMS), dan organisasi semodel lainnya. ICG terlalu berwibawa dan rekomendasinya tentang masalah pertikaian, konflik, atau peperangan, diterima banyak negara, termasuk lembaga internasional semacam Uni Eropa, Bank Dunia, atau PBB.

Maka sungguh aneh bin ajaib, ketika membuat analisa tentang kekerasan berlatar-belakang agama di Indonesia, Maarif Institute atau organisasi sejenisnya mau pun Kompas sama sekali tak menyinggung laporan ICG. Mengapa laporan ICG tak dipedulikan?

Dalam laporan 20 halaman itu, ICG menyimpulkan salah satu penyebab meningkatnya ketegangan Islam dengan Kristen di Indonesia adalah Kristenisasi yang agresif dilakukan Kristen Evangelical, kelompok Protestan fundamentalis yang dianut banyak penduduk Amerika Serikat.

Kristen Evangelical yang mencampurkan agama dan politik itu mulai berkibar sebagai pendukung Partai Republik di zaman Presiden Ronald Reagan, tapi betul-betul dominan di dalam percaturan politik Amerika Serikat di dua priode pemerintahan Presiden George Bush. Bush sendiri berteman dekat dengan para pendeta aliran itu seperti Pat Robertson, Jerry Palwell (meninggal dunia beberapa tahun lalu), James Dobson, atau Franklin Graham.

Di zaman Bush, negeri Islam seperti Afghanistan diserang dan diduduki, Iraq dijajah. Lantas para pendeta Evangelical membenarkan langkah-langkah Presiden Bush itu kepada rakyat Amerika Serikat. Belum cukup. Para pendeta diikut-sertakan (embeddet) bersama militer Amerika Serikat di Iraq dan Afghanistan guna menyebarkan ajarannya ke tengah masyarakat setempat yang Muslim.

Kembali ke Indonesia, memang menurut laporan ICG, ada faktor lain yang berperan dalam ketegangan hubungan Islam – Kristen, seperti kegagalan pemerintah, tumbuhnya organisasi Islam tertentu, dan desentralisasi. Tapi dalam mengembangkan strategi untuk mengatasi ketegangan antar-kelompok di Indonesia, laporan ICG menempatkan Kristenisasi dalam perhatian khusus. ‘’Isu Kristenisasi bisa mempersatukan kelompok anti-kekerasan dengan kelompok ekstrim pro-kekerasan,’’ tulis laporan itu.
Isu Kristenisasi telah berkembang di Indonesia sejak 1960-an. Tapi selama ini sensus penduduk tak menunjukkan pertumbuhan pengikut Kristen yang signifikan. Dari sensus tahun 2000, penduduk Protestan 5,8%, Katolik 3%, Hindu 1,8%, dan Islam 88,2%. Sisanya Budha dan Kong Hucu.

Begitu pun di kalangan ummat Islam isu Kristenisasi sangat mendapat perhatian. Tak aneh kalau Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri pada 2006 membentuk Komite Penanggulangan Bahaya Pemurtadan (KPBP). Belakangan namanya berubah menjadi Komite Dakwah Khusus (KPK).

ICG mengungkapkan bahwa Kristen Evangelical aktif melakukan Kristenisasi di Banten dan Jawa Barat, dua provinsi yang mengelilingi Ibukota Jakarta. Bila sukses, kelompok agama ini akan bisa mendapatkan tempat berpijak yang kuat di Ibu Kota.

Dari catatan ICG diketahui sejumlah organisasi Kristen dari Amerika Serikat memiliki kegiatan di berbagai daerah di Indonesia, tapi terutama aktif di Jawa Barat. Ada The Joshua Project yang aktif di kalangan etnis Sunda, Lampstand (Beja Kabungahan) digerakkan misionaris Amerika Serikat sejak 1969, Patners International berbasis di Spokane, Washington, memiliki belasan group di Jawa Barat sebagai patner lokal, Frontiers dari Arizona, dan Campus Crusade for Christ berbasis di Orlando, Florida, dan memiliki cabang di Indonesia dengan nama Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI).

Pada Desember 2006, LPMI membuat masalah di Batu, Malang, Jawa Timur. Ketika itu, LPMI mengadakan pelatihan. Dalam acara doa, pendetanya meletakkan Al-Quran di lantai dan menyuruh para peserta latihan mengelilinginya untuk upacara mengusir setan. Sang Pendeta dan para peserta doa kemudian ditangkap pihak berwajib karena tindakan menghina Al-Quran (blasphemy).

ORANG BATAK DI BEKASI

ICG memfokuskan laporannya pada Bekasi, kota yang dari data lembaga itu menunjukkan peningkatan jumlah penganut Kristen. Di tahun 2000, Bekasi memiliki penduduk 1.668.494 jiwa, 89% adalah Muslim, 6,5% Protestan, 3,2% Katolik. Pada tahun 2009, jumlah penduduk Bekasi melompat menjadi 2.145.447 jiwa, di antaranya 87,3% Muslim, 8,05 Protestan, 2,98 Katolik. Artinya, ada penurunan prosentase penganut Islam dan Katolik, tapi terjadi peningkatan prosentase penganut Protestan.

Meningkatnya jumlah penganut Protestan, menurut laporan ICG, sebagian mungkin disebabkan terjadinya perpindahan orang Batak penganut Protestan dari Sumatera Utara ke Bekasi guna mencari pekerjaan.
Tapi laporan ini pun mengungkapkan betapa gencar gerakan Kristenisasi di kawasan itu yang menurut ICG, antara lain dibiayai dana luar negeri. Di sana ada Sekolah Alkitab Terampil dan Terpadu (Integrated Bible Training School) yang dijalankan Edhie Sapto, seorang Madura yang dulu beragama Islam. Anehnya, sekolah ini menggunakan pamplet dan atribut bertuliskan Arab tapi mengajarkan Bibel. Lebih aneh lagi, sekolah yang dulu berada di bawah Kaki Dian Emas, dan kini Yayasan Bethmidrash Talmiddin itu, menurut laporan ICG, mensyaratkan setiap siswa baru bisa diluluskan setelah mengkristenkan 10 orang.

Tapi dalam hal menggarap orang Islam yang paling kontroversial tentulah Yayasan Mahanaim atau Mahanaim Foundation. Didirikan sebagai lembaga pendidikan dan sosial pada 1999 oleh Pendeta Rachel Indriati Tjipto Purnomo Wenas atau lebih dikenal sebagai Iin Tjipto. Sebagai bagian dari jaringan Pantekosta di Jawa, Mahanaim juga dijalankan keluarga keturunan China dan ditujukan untuk menggarap orang miskin, terutama anak-anak jalanan.

Maka yayasan ini memiliki rumah penampungan anak yatim yang dinamakan Rumah Harapan dan sekolah gratis dari taman kanak-kanak sampai SMA. Tampaknya yayasan ini memang bersimbah duit. Pada 2007, yayasan ini mengklaim memiliki aset bernilai Rp 125 milyar, dan setiap bulan menghabiskan dana Rp 1 milyar untuk aktivitasnya.

Yayasan memiliki divisi bisnis yang menjalankan toko buku sampai servis ruangan pendingin (AC), termasuk bisnis properti. Salah seorang pengurus yayasan sempat dihukum 10 tahun penjara karena terlibat manipulasi pembangunan perumahan militer.

Tapi urusan dana, bisnis, dan manipulasi pembangunan perumahan militer itu tak sampai menyebabkan pengurus yayasan bentrok dengan organisasi Islam di tempat itu seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Front Pembela Islam (FPI), dan Jemaah Ansharut Tauhid (JAT). Yang menimbulkan ketegangan jelas karena terjadinya upaya mengkristenkan orang Islam (Kristenisasi), terutama ditujukan kepada kelompok yang miskin, lemah, dan tak berdaya.

Pada 1 Desember 2007, misalnya, yayasan itu membagi-bagikan makanan kepada orang miskin dalam sebuah acara hiburan musik, tari-tarian, dan atraksi kembang api, yang dinamakan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Acara itu dilaksanakan di tempat terbuka di kawasan perumahan PT Taman Puri Indah, Pekayon. Anehnya, mayoritas hadirin adalah Muslim. Wajar saja kalau organisasi Islam setempat menuduh acara itu adalah tipu-daya untuk melakukan Kristenisasi.

Yang paling kontroversial adalah festival dua pekan yang digelar Yayasan Mahanaim November 2008, disebut Bekasi Berbagi Bahagia (B3). Acara dilaksanakan di 100 tempat terpisah di sekitar Bekasi dengan membagi-bagikan hadiah telepon genggam, televisi, mobil, bahkan amplop berisi uang kontan. Dalam kesempatan itu Yayasan Mahanaim pun mensponsori perkawinan massal yang melibatkan 153 pasangan Muslim.

Organisasi Islam setempat sudah melakukan protes terhadap Mahanaim malah sebelum festival itu berlangsung, yaitu ketika yayasan itu membagi-bagikan Bible pada 17 Mei 2008. Yayasan itu dituduh memurtadkan orang miskin melalui bujukan uang dan fasilitas. Organisasi Islam itu tergabung dalam koalisi bernama Front Anti-Permurtadan Bekasi (FAPB).

Pada Hari Pendidikan 2 Mei 2010, ada demonstrasi anti-Narkoba di Bekasi. Ketika melewati Masjid Al-Barkah, sejumlah orang yang ikut arak-arakan memakai baju yang di bagian belakangnya ada sulaman bintang David bewarna kuning, memisahkan diri dari barisan, membentuk formasi berbentuk salib.

Mereka mengembangkan bendera dengan gambar singa dan pedang, dan tujuh nama Tuhan (menurut Kristen): Adonai, El Shaddai, Jehova Rapha, Jehovah Nissi, Jehovah Shalom, Jehovah Shamah, dan Master of Breakthrough. Mereka bagi-bagikan stiker bertuliskan ‘’Yoel generation’’, dan kemudian meletakkan Mahkota Kristen (Christian Crown) di depan Masjid.

Tak begitu jelas dari mana mereka berasal. Tapi menurut laporan ICG, dari stiker bertuliskan ‘’Yoel generation’’ yang mereka bagi-bagikan bisa ditebak mereka ada kaitan dengan kelompok Evangelical, atau di Bekasi dikenal sebagai kelompok pemilik Yayasan Mahanaim. Di Cirebon, Jawa Barat, misalnya, Mahanaim membuka blog dengan nama Generasi Yoel. Pendeta Iin Tjipto menjadi kontributor di blog itu.

Maka tak mengejutkan kalau komunitas Islam bereaksi atas aksi di depan Masjid Al-Barkah yang jelas merupakan provokasi dan penodaan agama (blasphemy). Pada 8 dan 9 Mei 2010 ada tabligh akbar yang mengundang para pembicara terkenal seperti Kiai Athian Ali, Abdul Qadir Djaelani, atau Abu Bakar Basyir. Selain itu kelompok Islam mengirim delegasi memprotes peristiwa di depan Masjid Al-Barkah ke alamat para pejabat Pemda Bekasi.

Murhali Barda, Ketua FPI Bekasi membacakan pernyataan ummat Islam Bekasi yang ditandatangani 40 tokoh atas nama penduduk dan ummat Islam Bekasi, antara lain, menolak pembangunan gereja yang tak sesuai dengan peraturan yang berlaku, menolak segala bentuk aksi Kristenisasi di komunitas Muslim, dan polisi agar menindak para pelanggar hukum dan menghukum berat para perusak keharmonisan beragama.

Banyak ekses terjadi sebagai dampak aksi agresif Kristenisasi di Bekasi. Satu hal yang pasti harmonisasi umat beragama rusak dan terganggu. Pertanyaan yang relevan sekarang: kalau kita semua mengutuk kekerasan atas nama agama, bagaimana sikap kita terhadap aksi Kristenisasi terhadap orang miskin, lemah, dan tak berdaya? Agama dipertukarkan dengan supermie, beras, atau uang, dan pemberian lainnya. Tidakkah tindakan itu harus dikutuk juga karena menghina martabat manusia?

Oleh: Amran Nasution (Staf Ahli Suara Islam)

Menyerang Syariat Islam

Memang kalau kita membaca laporan “riset” Setara Institute yang berjudul “Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat” cukup geli, karena datanya gak jelas dan kesimpulannya boleh dikatakan ngawur. Sebut saja, “peneliti” menulis di halaman 80: “…Muhammad al Khaththath, adalah Ketua FUI (Forum Umat Islam). Sebelumnya ia menjabat sebagai sekjen FUI...”

Padahal, kabarnya para “peneliti” anak buah Hendardi itu suka ngintip website Suara Islam dan menjadikan Suara Islam sebagai salah satu sumber datanya. Apakah mereka tidak pernah baca di situs www.suara-islam.com atau di Tabloid Suara Islam sampai hari ini bahwa Muhammad al Khaththath yang menulis di kolom Muhasabah selalu diberi keterangan Sekjen Forum Umat Islam. Tidak pernah diberi keterangan Ketua Forum Umat Islam.

Juga disebut-sebut hasil “riset” bahwa di mata warga Jabodetabek (halaman 63), dibandingkan dengan organisasi Islam lainnya, FPI dinilai sebagai aktor utama kekerasan (61,9%). Berikutnya HTI (3,5%), NU (2,6%), dan Muhammadiyyah (1,9%). Lalu “peneliti” itu mengatakan meskipun secara factual jarang melakukan aksi sendiri, keterlibatan organisasi semacam HTI, NU, dan Muhammadiyyah dalam melakukan kekerasan bisa jadi dikonstruksi oleh keberadaan organisasi-organisasi ini dalam Forum Umat Islam (FUI).

Kesimpulan tersebut entah nyolong darimana? Sebab dalam tulisan maupun grafik dari laporan “riset” tersebut tidak pernah disebut data persepsi masyarakat tentang kuantitas maupun kualitas aktivitas kekerasan yang dilakukan oleh FUI. Para “peneliti” itu juga tidak pernah menyajikan data riil kekerasan yang dilakukan oleh FUI.

Maka wajarlah kalau kawan saya, seorang peneliti dari Singapura yang sudah empat tahun meneliti gerakan-gerakan Islam di sini menilai bahwa laporan Setara itu rubbish, sampah!

Oleh karena itu, dalam menanggapi laporan yang boleh dikatakan setara sampah itu FUI santai saja. Dalam rapat para pimpinan ormas Islam yang tergabung dalam FUI Rabu (12/01/2011) lalu yang membahas hasil “riset” lembaga yang tampaknya tidak puas atas kegagalannya (bersama LSM-LSM sekuler lainnya) mencabut UU No 1/PNPS/1965 dalam persidangan di MK beberapa waktu lalu itu diputuskan untuk memberikan respon yang seperlunya saja. Tidak perlu terpancing provokasi para penyerang Islam tersebut.

Hanya saja yang perlu diketahui oleh umat Islam bahwa standing point Setara Institute adalah menjadi penyerang Islam dan para pejuangnya. Mereka menyerang para ulama dan aktivis Islam dengan menulis para ulama dan pejuang Islam dari berbagai organisasi Islam yang tergabung di FUI itu sebagai “Pembela” (dalam tanda petik) Islam (halaman 107).

Mereka juga menyerang ajaran dan hukum Islam dengan menulis bahwa ada empat doktrin (halaman 164) yang dianut oleh organisasi Islam radikal yang berwatak intoleran. Pertama, doktrin tentang kewajiban menegakkan syariat Islam untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan Al Quran dan hadits. Kedua, doktrin yang mewajibkan untuk memberangus pemurtadan dengan menyebarkan prasangkan jahat kaum Nasrani. Ketiga, doktrin sebagai pembawa kebenaran dengan sikap dan prasangka sesat atau menyimpang atas munculnya sejumlah aliran atau pandangan teologis yang tidak sejalan dengan mereka. Keempat, doktrin perang melawan kemaksiatan dengan menjalankan amar makruf nahi munkar seperti perjudian, perdagangan minuman keras, dan pelacuran.

Dengan menulis seperti itu Hendardi dan kawan-kawannya yang rajin menyerang Islam itu ingin mengatakan bahwa doktrin yang mewajibkan mengatur masyarakat dengan syariat Islam berdasarkan Al Quran dan hadits adalah doktrin yang salah. Hendardi cs nampaknya menganut doktrin wajib menolak diberlakukannya hukum Allah SWT yang ada dalam Al Quran dan Hadits dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang meski mayoritasnya adalah muslim yang yakin dengan kebenaran hukum Allah SWT.

Tentu saja sikap demikian adalah muncul dari hawa nafsu mereka, seperti dahulu di kota Madinah, ketika hokum syariat Islam pertama kali diimplementasikan oleh Baginda Rasulullah saw., para dedengkot Yahudi yang kufur kepada Allah dan Rasul-Nya menolak penerapan hukum syariat Allah dan meminta kepada Nabi Muhammad saw. yang penjadi penguasa atas kota Madinah agar mengadili perkara mereka dengan tidak menerapkan hokum yang diturunkan Allah SWT. Tentu saja Rasulullah saw. menolak permintaan mereka. Allah SWT mengabadikan kejadian itu dalam firman-Nya:

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. (QS. Al Maidah 49).

Semoga mereka yang menyerang Islam itu mau merenungkan firman Allah SWT di atas dan segera menyadari dan memperbaiki kekeliruan dan kesalahan mereka.

Wallahua’lam!

KH. M. Al Khaththath
Sekjen Forum Umat Islam (FUI)

Source : suara-islam.com