JAKARTA (voa-islam.com) – Atas nama penelitian, Setara Institute membuat laporan bodong yang menyudutkan ormas-ormas Islam. Untuk menampik dan mengcounter balik fitnah Setara Institute, pimpinan ormas-ormas Islam akan menggelar jumpa pers.
Atas nama riset dan penelitian, Setara Institute secara tendensius menyudutkan ormas Islam yang selama ini berjuang menyelamatkan akidah umat dari pemurtadan. Penelitian yang hanya dilakukan dalam tempo singkat selama tiga bulan itu, tidak disertai dengan wawancara pimpinan Ormas Islam yang diteliti. Tapi mengatasnamakan riset. Pantas bila laporannya begitu ngelantur dan ngawur seperti anak SD yang sedang belajar mengarang.
Dalam sebuah laporan “bodong” berjudul “Radikalisme Agama di Jadebotabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan,” Setara Institute mengolok-olok para ulama dan pimpinan ormas Islam, seperti FPI, FUI, FUI Cirebon, Garis dan sebagainya.
Senin (10/1/2011) Siang, Setara Institute menggelar Diskusi Publik “Deradikalisasi Agama untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara dan Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi: Inspektur Jenderal polisi Ansyad Mbai (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris), DR. Abdul Mu’ti Institut (Sekretaris PP Muhammadiyah), Imdadun Rahmat (Wasekjen PBNU), Ismail Hasani (Peneliti Setara Institute). Setara juga mengundang istri almarhum Sinta Nuria, tokoh Ahmadiyah, para dubes asing, dan aktivis liberal lainnya.
Dalam pengantarnya, Hendardi (Ketua Pengurus Setara Institute) sesumbar, dalam tiga tahun terakhir ini (2007-2010), negeri ini dalam kondisi memprihatinkan. Tahun 2007, Setara mencatat terdapat 185 jenis tindakan dalam peristiwa 135 kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun 2008, terdapat 367 tindakan di 265 peristiwa. Tahun 2009, masih dalam survey Setara, terdapat 291 tindakan untuk 200 peristiwa. Tahun 2010, tidak kurang 175 peristiwa.
Dengan omongan kosongnya, Hendardi menebar fitnah, sebagian besar peristiwa pelanggaran, berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Setara institute pun memilih dua wilayah: Jadebotabek dan Jawa Barat untuk “meriset” tentang radikalisasi.
“Penelitian di kedua wilayah ini merupakan barometer politik Indonesia. Temuan riset secara umum, menunjukkan bahwa tingkat intoleransi di dua wilayah ini cukup tinggi, karena banyak faktor. Namun yang utama, justru, bukan dari faktor agama itu sendiri. Keberadaan organisasi Islam radikal yang selama ini gemar melakukan aksi kekerasan, hanyalah sebagai katalisator dan incubator bagi menguatnya radikalisme di tengah masyarakat,” jelas Hendardi.
Penyebab radikalisme, lanjut Hendardi, selain disebabkan geneologi gerakan masa lalu, juga disebabkan kondisi mental masyarakat yang frustasi, tak terkecuali kesejahteraan yang tidak merata. Setara Institute telah merekomendasi 8 langkah yang bisa ditempuh oleh berbagai institusi negara yang relevan, dalam rangka deradikalisasi masyarakat. Secara khusus, rekomendasi menunjukkan betapa pentingnya membuat kanal-kanal politik dan ekonomi, untuk deradikalisasi yang ada di tengah masyarakat.
Sebelum dialog ini berlangsung, Setara Institute mengaku sudah menemui institusi Negara. Acara ini sekaligus, kami peruntukkan untuk mengenang satu tahun wafatnya Abdurrahman Wahid selaku pendiri Setara Institute.
Senada itu, peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, memaparkan, bahwa wilayah Jawa Barat dan Jadebotabek sudah menjadi pemantauan LSM ini selama empat tahun terakhir. Menurutnya, Jadebotabek dan Jawa Barat telah menempati rangking pertama atas tindakannya melakukan diskriminasi terhadap jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.
“Publik bertanya, kenapa Jadebotabek dan Jawa Barat selalu berada di rangking pertama yang banyak melakukan pelanggaran. Karena itu kita turun ke lapangan untuk mendeteksi secara lebih mendalam, kenapa bisa terjadi pelanggaran,” kata Ismail Hasani.
Setara Institute mencatat, organisasi radikal ini semakin intensif. Nyaris semua pelanggaran, selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Karena itu pihaknya ingin mengecek seberapa jauh dukungan masyarakat terhadap organisasi ini.
“Tujuan studi ini awalnya semata-mata untuk mengenali profil organisasi-organisasi Islam. Karena perannya selama ini dianggap mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Setelah mengenali, kami menakar implikasinya. Kami yang selama ini mengusung pluralism, ingin mengukur apakah organisasi ini mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan? Karena itu kita lakukan penelitian ini,” tandas Ismail.
Lebih jauh Ismail membagi intoleransi menjadi dua, yakni: aktif dan pasif. Adapun intoleransi Pasif adalah ketika intoleransi tidak memanifestasi menjadi kekerasan. Pandangan ini masih dianggap sah-sah saja. Sedangkan intoleransi aktif, jika sudah memanifestasi kekerasan, termasuk dalam bentuk verbal.
“Pernyataan publik yang memprovokasi kekerasan, jelas berbahaya. Deradikalisasi menjadi penting dilakukan, biasanya, tahapan setelah intoleransi aktif, maka akan menjadi radikal, lalu jika katalisator dan inkubatornya bekerja dengan baik, bisa saja menjadi terorisme. Maka dari itu Setara meyakini, bahwa terorisme adalah puncak dari tindakan intoleransi. Sebaliknya, intoleransi adalah titik awal terjadinya terorisme,” jelas Ismail.
Sementara itu Abdul Mu’ti, salah seorang pembicara dalam Diskusi Publik Setara Institute, mengkritisi laporan penelitian Setara Institute. Menurut Sekretaris PP Muhammadiyah ini, judul laporan keliru dan tidak tepat. Menurutnya, judul yang lebih tepat adalah “Aktualisasi Radikalisme,” bukan “Radikalisme Agama.”
“Karena saya tidak melihat kelompok Islam yang diteliti ini, apakah awalnya moderat, liberal, lalu menjadi radikal. Atau mereka memang sudah radikal sejak kelahirannya. Sehingga yang terjadi sekarang adalah satu ideologi banyak wajah. Hanya beda aktualisasi saja. Agenda dan ideologi boleh sama, tapi strategi berbeda.
Mu’ti berpandangan, bermunculannya banyak organisasi Islam adalah konsekuensi dari demokrasi itu sendiri. “Apa yang disebut freedom of speech, bahwa semua orang bisa bicara apa saja. Ketika semua ideologi muncul, tidak ada satupun yang menyembunyikan identitasnya. Ya, itulah konsekuensi demokrasi. Freedom expression,” jelasnya.
Ormas-ormas Islam bersatu hadapi fitnah laporan bodong Setara Institute
Ketika diminta tanggapannya tentang hasil penelitian Setara Institute yang di dalam salah satu laporannya memuat pernyataan yang menyerang FUI, Sekjen FUI KH Muhammad Al-Khaththath berkomentar dengan enteng sambil tersenyum lebar.
“Laporan yang disampaikan Setara Institute bukanlah penelitian ilmiah. Penelitian itu tak lebih laporan bodong, kacangan, dan tidak berdasar. Lha, saya sendiri tidak pernah diwawancarai oleh pihak Setara. Bagaimana mungkin disebut riset penelitian, jika saya yang disebut-sebut dalam laporan itu tidak pernah dikonfirmasi. Gitu aja kok repot,” kata Ustadz Al-Khaththath saat dijumpai voa-islam di sekretariat Forum Umat Islam (FUI) Jakarta, Senin (10/1/2011).
Untuk menampik semua tudingan Setara Institute itu, Rabu siang (12/1/2011), pimpinan ormas-ormas Islam yang terfitnah, seperti FPI, Garis, FUI, FUI Cirebon, FAPB, Tholiban, dll akan menggelar pertemuan di sekretariat FUI Jakarta. “Ormas-ormas Islam akan mengcounter balik fitnah Setara Institute yang telah mencemarkan nama baik organisasi dan pimpinan ormas Islam,” jelas Khaththath. [desastian]