Profil Lembaga (Lembaga Swadaya Masyarakat)
YLBHI : didirikan oleh beberapa aktivis IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia), termasuk Adnan Buyung Nasution, yang sering kali mengklaim Yayasan ini milik pribadinya. Pada awalnya adalah LBH Jakarta yang merupakan program bantuan hukum yang bersifat sosial dari IKADIN. Yaitu hanya memberikan bantuan hukum gratis bagi orang-orang miskin yang tak mampu bayar pengacara. Namun karena pada awal tahun 80-an, Negara-negara barat memerlukan kaki tangan untuk memonitor bantuan dan hutang yang mereka berikan kepada pemerintah Indonesia, maka didirikanlah YLBHI, yaitu yayasan yang menaungi LBH-LBH yang ada diseluruh Indonesia yang didirikan oleh IKADIN tersebut. Sejak itu, yayasan ini menjadi antek dan kaki tangan bagi penyebaran ide-ide liberalisme.
Sumber keuangan YLBHI ini pada masa-masa awal berdirinya hingga tahun 2004 sebagaian besar berasal dari Belanda, Swedia, Belgia, Amerika Serikat, Kanada dan Australia, dalam jumlah ratusan juta hingga milyar rupiah, tergantung proyek dan agenda yang sedang dikerjakan oleh Negara-negara Barat tersebut. Pada saat Negara-negara barat berkeinginan menumbangkan Soeharto dari kekuasaannya, maka bantuan dalam milyar rupiah digelontorkan kepada Yayasan ini. Dalam jumlah yang tidak terlalu besar, hanya sekitar Rp.50 juta / bulan Pemprov DKI Jakarta sejak 2004 memberikan bantuan keuangan. Dan juga pada tahun anggaran 2006-2007, Pemprov DKI Jakarta memberika bantuan berupa uang sebesar Rp. 8 Milyar, untuk pembangunan gedung YLBHI. Tidak diketahui apakah dana bantuan ini di audit dan dipertangungjawabkan kepada rakyat, karena dana bantuan dari Pemrov DKI tersebut berasal dari APBD.
KONTRAS : pada awalnya adalah program kerja dari YLBHI, yang dijalankan oleh almarhum Munir. Dalam perjalanannya kemudian dikendalikan oleh para kontraktor LSM, seperti Asmara Nababan dan MM Billah. Lembaga ini memfokuskan diri pada aktivitas HAM dan seringkali menjadi mitra Negara-negara barat dalam berbagai bentuk program.
Sumber keuangan lembaga ini sepenuhnya berasal Amerika Serikat, Belanda, Swedia, Kanada, Australia dan Norwegia dan sebuah lembaga penyalur dana milik George Soros yaitu yaysan TIFA.
WAHID Institute adalah yayasan yang didirikan oleh Abdurrahman Wahid, sebagai pangkalan untuk penyebar ide-ide liberalism terutama yang ditujukan kepada organisasi Islam, lebih khusus lagi adalah upaya liberalisasi NU. Lembaga ini memfokuskan pada ide-ide pluralism, dimana mereka berupaya keras menanamkan pemikiran bahwa semua agama adalah benar. Pemikiran ini terutama disebarkan dikalangan NU.
Sumber keuangan lembaga ini juga sebagian besar berasal dari : Amerika Serikat, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.
SETARA Institute : setali tiga uang dengan LSM lainnya yang mempromosikan semua agama benar. Ide dasar dari berdirinya LSM ini adalah untuk menjadikan kaum minoritas dapat mengendalikan kekuasaan dan ekonomi. Setelah Hendardi berhenti dari PBHI, dicarikan tempat oleh para broker uang Negara-negara barat. Pada awalnya hanya agar Hendardi tetap bias eksis dudunia LSM. Bersama para aktivis yang ikur memisahkan Timor Timur dari Indonesia, Bonar Tigor Naipospos, mereka mulai menjual ide kesetraaan sebagai cara mendapatkan bantuan dana dari barat.
Sumber dana mereka ini sebagian besar juga berasal dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.
MAARIF Institute adalah lembaga yang didirikan dengan menggunakan nama besar mantan aktivis Islam Syafii Maarif. Tujuan utama lembaga ini adalah sama seperti Wahid Institute, namun lebih dikhususkan untuk membangun jaringan liberal di tubuh Muhammadiyah.
Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga berasal dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) adalah lembaga yang terang-terangan mengusung liberalism sebagai ideologinya. Awalnya lembaga ini didirikan oleh anak-anak muda pengangguran jebolan pesantren yang kemudian ditampung oleh Goenawan Mohamad sebagai pekerja di lingkungan utan kayu, tempat radio 68H milik Goenawan bermarkas. Awalnya lembaga ini berasal dari kegiatan kongkow-kongkow anak muda yang berfaham liberal, yang kemudian oleh Goenawan difasilitasi dan dikembangkan sebagai jaringan untuk menyusup kedalam organisasi Islam seperti NU dan lainnya. Sepertinya misi mereka ini setengah gagal, setelah aktivis JIL banyak yang loncat pagar dan sebagian bahkan benar-benar bekerja pada perusahaan milik goenawan.
Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga berasal dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.
MODERATE MUSLIM SOCIETY (MMS) ini adalah lembaga yang didirikan mantan aktivis JIL, setelah di kader didalam JIL Zuhairi Misrawi mendirikan Moderate Muslim Sociaty. Tujuan utamanya adalah menjadikan umat Islam bersikap lemah terhadap kekufuran. Dari nama lembaganya jelas sekali bahwa ini adalah perpanjangan tangan dari agenda RAND Corp, sebuah lembaga milik zionis internasional yang bermarkas di Amerika Serikat.
Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga ditopang dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda.
IMPARSIAL adalah LSM yang didirikan oleh aktivis gereja Asmara Nababan bersama almarhum Munir. Awalnya adalah untuk menampung almarhum Munir yang keluar dari YLBHI karena bertentangan dengan Adnan Buyung Nasution. Sebagai atktivis senior, Asmara Nababan yang telah meninggal ini, tahu betul manfaat dari almarhum Munir yang punya popularitas di dunia LSM. Dengan issu HAM sebagai jualan utamanya, lembaga ini berusaha untuk eksis ditengah-tengah ribuan LSM lainnya. Hanya karena jaringan dengan lembaga penyandang dana yang dimiliki oleh Asmara Nababan saja lebaga ini dapat eksis, entah bagaimana nasibnya setelah ditinggal oleh para aktivisnya, seperti Munir, Asmara Nababan yang meninggal dunia, dan aktivis lainnya yang loncat ke Patai demokrat.
Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga ditopang dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda, Swedia dan Norwegia.
HRWG (Human Right Working Group) didirikan oleh aktivis yang selama ini tinggal di Belanda yaitu Rafendi Jamin, mantan aktivis di UI tahun 80-an. Awalnya adalah sebagai sarana bagi para LSM Indonesia yang ingin jalan-jalan ke Geneva dengan kedok lobby kepada Dewan HAM PBB yang bersidang setiap tahun di bulan Maret hingga April. Lembaga ini menjadi Fasilitator bagi para aktivis tersebut. Di Genewa, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menjual informasi kepada delegasi dari Negara-negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan beberapa Negara pemberi dana lainnya. Inilah yang mereka sebut sebagai membawa persoalan HAM di Indonesia kepada Dewan HAM PBB. Melalui HRWG ini mereka menjadi panitia seleksi bagi para aktivis LSM yang hendak jalan-jalan ke Swiss.
Sumber dana lembaga ini juga sebagian besar juga ditopang dari : Amerika Serikat melalui The Asia Foundation, Yayasan TIFA (milik yahudi George Soros), Australia, Belanda, Swedia dan Norwegia.
Profil Individu (Para Antek Ahmadiyah)
Ulil Abshar Abdalla adalah seorang lulusan pesantren yang mencoba peruntungannya dengan sekolah di berbagai tempat. Di LPIA, sebuah lembaga pendidikan milik kerajaan Saudi, dia tidak menyelesaikan hingga tamat, begitu juga ketika diberi kesempatan sekolah di sebuah universitas di Amerika Serikat, lagi-lagi Ulil harus Drop Out, Karena tidak bisa menyelesaikan tepat waktu.
Ulil mencoba melobby untuk sekolah ke Australia, dan ternyata dia pun tidak mampu untuk memenuhi syarat sebagai penerima bea siswa.
Hendardi adalah mantan aktivis di ITB sekitar tahun 80-an yang tidak sempat menyelesaikan pendidikannya di ITB. Lalu kemudian dibesarkan oleh Buyung Nasution di YLBHI, dan kemudian mendirikan PBHI setelah konflik hingga menggunakan kekerasan lawan buyung Nasution dan almarhum Ali Sadikin. Setelah selesai dari PBHI yang juga banyak meninggalkan konflik didalamnya, dia kemudia mendirikan Setara Institute bersama aktivis pro kemerdekaan Timor Timur, Bonar Tigor Naipospos.
Beberapa kali Hendardi sempat mencoba untuk kuliah hukum di perguruan tinggi yang tak dikenal, namun tidak diketahui apakah menyelesaikan sarjana hukumnya atau tidak.
Goenawan Mohammad adalah seorang liberalis sejati. Sejak lama menjadi kaki tangan Amerika Serikat dalam penyebaran faham liberal. Bahkan majalah Tempo yang dia dirikan awalnya adalah perpanjangan tangan dari program yang dijalankan oleh United State Information Agency, yang merupakan lembaga rahasia yang ditugaskan untuk mempropagandakan faham Amerika ke seluruh dunia.
Pada saat majalah Tempo di breidel, Goen, demikian dia biasa dipanggil, berhubungan erat dengan aktivis PRD. Bahkan diduga kuat mengetahui dan mendorong aktivis PRD untuk melakukan perlawanan keras terhadap Soeharto, yang berujung pada meledaknya Bom di rumah susun Tanah Tinggi pada tahun 1996.
Peristiwa bom Tanah Tinggi di kawasan Senen Jakarta ini, adalah peristiwa teror yang terjadi pada masa Soeharto yang didukung sepenuhnya oleh aktivis pro demokrasi, dengan ikut menyembunyikan dan melindungi para perakit bom.
(Ibnu Hamid)