Zionisme dan Propaganda Adu Domba

Artawijaya
Kontributor Suara Islam Online



Pecah belah dan kuasai (divided and conquered) adalah program zionisme dalam menaklukkan negeri-negeri Muslim. Termasuk di Indonesia, lewat para pengasong virus “Sepilis” yang saat ini mulai ‘sepi order' dan kembali menebar fitnah.

Zionisme punya berbagai cara untuk melemahkan Islam. Dari cara-cara yang terlihat kasar, sampai pada misi-misi halus yang bertujuan memberangus Islam sampai ke akar-akarnya. Di Indonesia, konfrontasi secara fisik masih dianggap tak memungkinkan, mengingat kekuatan yang begitu besar dari umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Karena itu, digunakan cara-cara lain untuk memberangus gerakan Islam, diantaranya lewat politik pecah belah dan adu domba (divide et impera) serta fitnah membabi buta lewat stigmatisasi buruk terhadap kelompok Islam.

Karena itu, dibuatlah produk-produk fitnah untuk meraup dollar. Jika dulu dikampanyekan isu bahaya ideologi trans-nasional, wahabisasi global, Islam garis keras, fundamentalisme Islam, dan lain-lain, kini dibuatlah merk dagang baru sebagai proyek jualan mereka: Deradikalisasi! Selain ngasong keliling ke berbagai daerah, proyek deradikalisasi ini juga mendapat dukungan tak langsung dari hasil ‘riset bodong’ tentang peta kelompok radikal yang dirilis ke publik oleh LSM liberal, SETARA Institute.

Kelompok liberal di Indonesia bisa dibilang ’’gagal’’ dalam mengasong virus ’’Sepilis’’ ke tengah-tengah umat. Agar kantong tak cekak dari kucuran dollar, mereka mulai mengusung proyek baru ’’de-radikalisasi’’. Cita-cita mulia tentang Khilafah dan penegakkan syariat Islam disamakan dengan aksi terorisme yang mesti diberangus. Sebuah proyek Zionisme yang sudah dicanangkan sejak berabad-abad lalu.

Untuk meraih simpati masyarakat, proyek ’’deradikalisasi’’ dikampanyekan sebagai upaya menanggulangi bahaya terorisme dengan melibatkan unsur-unsur dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Belakangan terbukti, proyek ’’deradikalisasi’’ tak lebih dari upaya ’’de-islamisasi’’ karena menyebut berbagai aksi terorisme dengan tujuan mendirikan negara Islam, khilafah Islamiyah, dan penegakkan syariat Islam seperti pernyataan Kepala BNPT Ansyaad Mbai. Proyek deradikalisasi dan riset bodong SETARA Institute seperti badai fitnah yang diarahkan kepada kelompok Islam.

Sebelumnya, kelompok liberal juga mengampanyekan propaganda fitnah dan adu domba dengan merilis buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” Buku ini terbit atas sponsor LSM-LSM liberal yang selama ini dikenal sebagai “organisasi tadah hujan”, yaitu mereka yang bekerja by order demi kucuran dollar untuk memojokkan kelompok Islam. Mereka adalah Gerakan Bhineka Tunggal Ika, The Wahid Institute, Ma’arif Institute, dan sebuah LSM yang selama ini kerap mengampanyekan kepentingan Zionisme Internasional, Liberal for All (LibForAll).

Seperti halnya ’’riset bodong’’ SETARA Institute, buku ini juga sangat beraroma “order” kepentingan tertentu, ketimbang kajian ilmiah yang obyektif dan mendalam. Buku yang konon melibatkan 27 peneliti dan memakan waktu penelitian selama dua tahun ini mengupas tentang sepak terjang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di berbagai daerah, terutama apa yang disebut oleh buku ini sebagai infiltrasi ideologi terhadap organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. PKS dan HTI dicap sebagai “gerakan Islam transnasional” yang sering disebut sebagai kelompok Wahabi dan dianggap mengancam eksistensi paham ahlussunnah waljamaah dan berpotensi memecah belah bangsa.

Dalam buku tersebut, Perda Anti-Maksiat yang dianggap sebagai Perda Syariah, dianggap sebagai ‘’Kudeta Konsititusi’’ seperti pernyataan Gus Dur dalam prolognya. Sedangkan, orang yang berusaha menegakkan syariat Islam, seperti ditulis Syafi’i Ma’arif dalam prolog buku tersebut, adalah orang-orang yang ‘’miskin peta sosiologis’’ sehingga mengambil jalan pintas untuk memperoleh keadilan dengan memaksa berlakunya syariat Islam. Dengan kalimat yang sungguh menyakitkan, Syafi’i menulis, ‘’Jika secara nasional belum mungkin, maka diupayakan melalui Perda-Perda (Peraturan Daerah). Dibayangkan dengan pelaksanaan syariah ini, Tuhan akan meridhai Indonesia.”

Perhatikan kalimat “Dibayangkan dengan pelaksanaan syariah ini, Tuhan akan meridhai Indonesia” yang ditulis Syafi’i dalam prolog tersebut. Kalimat itu, selain bertentangan dengan nash al-Qur’an juga melecehkan para pejuang penegakkan syariat di negeri ini. Padahal dalam al-Qur’an sangat jelas dinyatakan, barang siapa yang mencari selain Islam sebagai ad-dien (aturan/sistem hidup) maka tidak akan diterima oleh Allah SWT (QS. Ali Imran:85). Jelaslah, siapa saja yang mencari selain Islam sebagai aturan hidup maka tidak akan diridhai Allah SWT. Sebaliknya, mereka yang berada di atas ad-dienul Islam, dan berupaya menegakkannya dalam kehidupan secara menyeluruh tentu akan mendapat ridha Allah SWT.

Masih dalam prolog di buku yang sama, Syafi’i juga menyebut kelompok fundamentalis yang ada pada saat ini muncul karena ketidakberdayaan menghadapi “arus panas” modernitas sehingga “menghibur” diri dengan mencari-cari dalil agama. “Jika sekadar “menghibur”, barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari,” tulis Syafi’i.

RAND Corporation, sebuah lembaga think tank AS, pada tahun 2007 lalu pernah merilis laporan bagaimana cara menghadapi apa yang mereka sebut kelompok “ekstremisme Islam”. Laporan itu menyebutkan, untuk memberangun ekstremisme Islam, maka harus dirangkul kelompok-kelompok yang disebut sebagai ’’potential partner’’ untuk membantu melawan ekstremisme di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Siapa potential partner yang dimaksud RAND Corporation ? Mereka adalah kelompok sekular, Muslim liberal, dan kelompok tradisionalis moderat, termasuk kelompok pengusung sufisme.

Kelompok sekular didefinisikan sebagai mereka yang menolak campur tangan negara dalam urusan negara dan berusaha membuat undang-undang sekular sebagai konstitusi negara. Kelompok Muslim liberal didefinisikan sebagai mereka yang meyakini bahwa Islam sejalan dengan pluralisme, demokrasi, kesetaraan gender, dan lain-lain. Terakhir, kelompok tradisionalis moderat didefinisikan sebagai mereka yang berseberangan secara pemikiran dengan para pengusung ideologi trans-nasional, menentang wahabisasi global, dan mereka yang berusaha menjaga tradisi dan budaya yang sesuai dengan kearifan lokal pribumi.

Misi adu domba ala Zionisme sudah jauh-jauh hari dijalankan untuk memberangus gerakan Islam. Pada Kongres Zionisme tahun 1903, sudah dicanangkan cara-cara adu domba untuk memecah belah dan menguasai Islam dengan cara-cara. Pertama, Memperbanyak berdirinya organisasi-organisasi yang tujuannya sejalan dengan Freemasonry, tetapi dengan nama-nama yang berbeda. Kedua, Mempersempit peran agama pada batas-batas Ibadan saja, dan selanjutnya menghancurkan sama sekali. Ketiga, Menyusupkan anggota-anggota Freemasonry di kalangan tokoh-tokoh agama lain (non Yahudi) dan mendirikan organsiasi-organisasi baru sebagai alat menguasai agama-agama.

Inilah makar keji Zionis yang sampai hari ini masih berjalan. Di Indonesia, makar tersebut ditopang oleh LSM-LSM komprador yang bekerja untuk kepentingan memberangus gerakan Islam.